Zaini Rakhman: Berjuang untuk Pelestarian Burung Garuda
Diposting oleh
Unknown
| Kamis, 12 Juli 2012 at 01.50
0
komentar
Labels :
(dok/ist)Garuda adalah lambang negara Indonesia. Ironis, ketika sang garuda itu nyaris punah.
Indonesia,
berdasarkan Keputusan Presiden No 4 Tahun 1993 menyebut bahwa lambang
burung garuda adalah elang jawa. Di wilayah lain, masyarakat Mentawai
juga di Sulawesi pun yakin bahwa garuda adalah elang endemik di
wilayahnya.
Jenis dari Genus Spizaetus memang berjambul mirip simbol
Garuda. "Karena itu, ironis, bila masyarakat Indonesia melupakan
elang jawa. Juga masyarakat Jakarta, misalnya, melupakan simbol
kotanya yaitu elang bondol," paparnya.
Raptor, atau binatang
jenis unggas pemangsa ini adalah satwa endemik di seantero Pulau
Jawa. Jambul di kepalanya membuat jenis ini sempat dikira elang
brontok (Spizaetus cirrhatus limnaetus) atau mirip Spizaetus
kelaarti.
Barulah pada 30 April 1907, ditemukan elang jawa oleh Max
Edward Gootlieb Bartels dan Ernst Stresemann pada 1924 diketahui
sebagai spesies yang berbeda sehingga resmi disebut Spizaetus
bartelsi.
Semua ketertarikan itu menjadi bagian dari kehidupan
lelaki yang sudah mulai aktif di kegiatan penelitian dan konservasi
alam terutama jenis burung pemangsa sejak 1996 ini. Menurutnya,
seluruh kepulauan Indonesia memiliki paling banyak elang endemik di
dunia, dari 311 jenis, di Asia 90 jenis dan 75 jenis itu ada di
Indonesia.
"Sebutlah, elang
brontok (Spizaetus cirrhatus) di Mentawai, elang wallasea (Spizaetus
nanus) di Sumatera, Kalimantan memiliki jenis elang gunung (Spizaetus
alboniger). Di Sulawesi, ada delapan jenis endemik dan tersebar di
tiap provinsi. Taman Nasional Lore Lindu di Palu adalah surga elang
di endemik wilayah pulau ini.
Maluku memiliki tiga jenis elang
endemik, sedangkan di Nusa Tenggara dan Papua ada lima jenis termasuk
rajawali irian (Harpyopsis novaeguineae). Di Jawa, ada 28 jenis elang
endemik termasuk Elang Ular Bawean (Spilornis baweanus) dan elang
jawa. Kesemua jenis elang ini termasuk satwa yang dilindungi. Elang
flores, elang ular bawean, statusnya kritis.
Elang jawa statusnya
sudah genting. Rajawali irian dan rajawali totol berstatus rentan.
Hal yang sama terjadi pada elang walaseae, elang ikan kecil, elang
ikan kelabu, elang alap kecil, elang alap doria, dan rajawali
kuskus," papar lelaki yang pernah nyantri di Pondok Pesantren
Gontor Ponorogo.
Solusi untuk mereka bagi Zaini adalah
perlindungan terhadap kawasan konservasi. Sedang untuk pembiakan,
breeding, ia mengaku belum memilikinya seperti di Davao Sights:
Philippine Eagle Center, juga di Amerika seperti Hawk Mountain
Sanctuary. "Mereka memiliki pengalaman untuk itu,"
ujarnya.
Padahal, di luar besarnya ancaman terhadap elang,
pembiakan elang tergolong sulit, selain karena jenis satwa ini hanya
bertelur satu butir dalam 2-3 tahun, kecuali telur tak jadi, rusak,
atau dimakan satwa lainnya, mereka juga pasangan yang monogamus.
Jadi, setiap elang hanya memiliki satu pasangan saja sehingga ketika
si jantan atau betina mati dimangsa, atau dibunuh oleh pemburu,
mematikan juga kesempatan sebuah regenerasi.
Di alam liar, jenis
elang ini diperkirakan 44 berada di kawasan konservasi, 22 kantungnya
berada di luar kawasan konservasi. Kendati di luar kawasan
konservasi, di lahan pertanian, misalnya elang tetap membutuhkan
habitat alami yang mendukung, mulai dari tinggi dan jenis pohon
tempat bersarang, pegunungan, sungai, juga hutan.
Kerusakan dari
bencana alam adalah hal yang memengaruhi rusaknya habitat dan jumlah
elang. Penyebab lain adalah rusak dan berkurangnya hutan di kawasan
Perhutani. Namun, penyebab telak berkurangnya jumlah elang di
Indonesia, terutama elang jawa, 50 persen adalah karena penangkapan
liar, perburuan, untuk dikoleksi atau dipelihara secara
pribadi.
Elang jawa saat ini berdasarkan data tahun 2010 saja,
hanya tersisa 325 pasang di alam. "Bayangkan sekarang berapa
sisanya," papar lelaki ini.
Menurut Zaini, elang jawa banyak
dipelihara karena prestisenya sebagai simbol nasional, juga filosofi
budaya tradisi bahwa memelihara unggas, tak hanya perkutut tapi juga
elang sebagai simbol status pemiliknya. "Satwa ini termasuk yang
dilindungi, kenyataannya elang jawa juga elang endemik lainnya,
pernah diselundupkan," ujarnya.
Di Raptor Indonesia (Rain),
jaringan kelompok kerja dan sukarelawan yang bergerak dalam upaya
penelitian dan pelestarian burung pemangsa di Indonesia, tempat Zaini
aktif, biasanya elang yang didapat dari perdagangan liar akan
dikarantina lebih dulu sebelum dilepasliarkan.
Menurutnya, ada elang
yang sejak kecil sudah dipelihara di kandang sehingga tidak lihai
berburu di alam liar, ada yang rusak sayapnya, atau kakinya rusak
akibat lama dirantai dan hinggap di besi. Sisanya tak sedikit yang
sudah mati dan tak terselamatkan.
"Bersama
Kementerian Kehutanan, kita sudah mencoba inisiasi untuk beberapa
wilayah konservasi, sebutlah di Cikananga Kabupaten Sukabumi, Pulau
Kotok di Kepulauan Seribu, juga di Kampung Panaruban Kabupaten
Subang," paparnya.
Surga Pendatang
Surga Pendatang
Zaini fasih
menyebutkan data, tahap pemulihan, upaya konservasi, pemetaan elang
di Indonesia. Menurut Zaini, rusaknya hutan di Pulau Jawa,
khususnya Jawa Tengah menyebabkan terganggunya Indonesia sebagai
bagian penting daerah lintasan (migration routes), daerah singgah
(stop over), dan tempat untuk menghabiskan musim dingin (wintering
area).
"Elang migran" dari seluruh wilayah kontinental,
seperti Siberia, China, Korea, Jepang, wilayah Asia Timur dan Asia
Tengah yang biasanya singgah, berdasar data anekdotal, kini
kebanyakan mereka selain bertujuan ke Kalimantan, sebagian ada yang
melintas Selat Karimun Jawa, menempuh jalur Bali atau melanjut ke
Nusa Tenggara.
Di wilayah Jawa Barat, kendati juga semakin
berkurang, hutannya masih aman, kendati berdasar pengamatan
kawan-kawan Zaini, para penggemar paralayang, di wilayah Gunung
Pancar, tak banyak lagi elang yang terbang di area dekat kawasan
Puncak itu.
Hal itu juga terjadi di wilayah Jawa Tengah yang
dulunya lahan surga kini hutan juga wilayah konservasinya semakin
berkurang.
Dari data anekdotal yang diperoleh Zaini, dari 55 jenis
elang yang bermigrasi di koridor daratan sebelah timur (eastern
inland corridor) dan koridor pantai pasifik (coastal pacific
corridor), di data pada 1999 saja sudah berkurang.
Kini perjalanan
migrasi mereka semakin rentan, termasuk akibat kerusakan hutan di
negara lain seperti Jepang, Mongolia, China, dan Korea yang semuanya
berimigrasi menghabiskan musim salju, melintasi Vietnam, Thailand,
Malaysia, juga beberapa bagian Semenanjung Malaysia hingga
Indonesia.
Selain jalur-jalur tadi, menurut Zaini, ada satu jalur
migrasi lagi yang ditempuh berbagai jenis elang falcon yang bertubuh
dan bersayap lebih kecil, terbang cepat memanfaatkan tenaga termal,
melintasi sisi timur kepulauan Indonesia, biasa disebut koridor
Samudra Pasifik (Oceanic Pacific corridor), mulai dari China, Taiwan,
Filipina, Thailand, Singapura, ke Kalimantan atau Sulawesi. ***
Sebarkan Buku ke Sekolah
"Saya bukan pemelihara burung elang, saya bersama kawan yang lain justru ingin melestarikan burung-burung elang di Indonesia," ujarnya, kepada SH, Rabu (4/7). Karena itu, upaya penyelamatan, konservasi, pemeliharaan, terhadap jenis elang harus dibarengi dengan pengetahuan masyarakat.
Sebarkan Buku ke Sekolah
"Saya bukan pemelihara burung elang, saya bersama kawan yang lain justru ingin melestarikan burung-burung elang di Indonesia," ujarnya, kepada SH, Rabu (4/7). Karena itu, upaya penyelamatan, konservasi, pemeliharaan, terhadap jenis elang harus dibarengi dengan pengetahuan masyarakat.
Untuk itu, mimpi dan keinginan Zaini cukup sederhana,
yaitu menerbitkan buku ke sekolah-sekolah agar generasi muda
menyadari sang garuda yang terancam punah. Judul bukunya Garuda-Mitos
dan Faktanya di Indonesia, terbitan Raptor Indonesia (Rain) tahun
2012.
"Agar suatu saat
kelak, generasi muda tetap dapat melihat Sang Garuda terbang, tak
hanya di buku atau dokumentasi film tapi juga ada di sekitar
lingkungan mereka," ujarnya antusias.
Harapan lelaki yang
aktif di Rain dan YPAL (Yayasan Pribumi Alam Lestari), buku setebal
102 halaman karyanya dengan dukungan rekan dan seluruh jaringan serta
lembaga pemerhati elang itu dapat dibaca para pengajar sehingga dapat
diajarkan bagi para siswa di sekolah dasar hingga mahasiswa.
Buku
ini memang dilengkapi foto dan penjelasan rinci seputar elang jawa
sebagai simbol Garuda, filosofinya, habitatnya, dari elang jawa,
elang bondol, termasuk berbagai jenis genus elang di Indonesia dan
dunia.
Buku yang pada cetakan sebelumnya sudah habis diedarkan ini
rencananya akan dia cetak ulang, baik dengan dukungan perusahaan,
lembaga, yayasan, atau penerbitan asalkan dapat tersebar dan banyak
sekolah di Indonesia dapat memilikinya.
"Harapannya agar semua
sadar tentang keberadaan unggas ini, termasuk elang jawa dan jenis
elang endemik lainnya. Diperlukan juga penyadaran tentang lingkungan,
isu global warming, pembalakan hutan, dan pelestarian lingkungan,"
kata dia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)